Natal bukan sekadar tradisi. Bukan sekadar juga hari raya besar umat Kristen. Sebab bisa jadi kita terjebak dalam kebiasaan dan suasana belaka. Padahal perayaan setiap hari besar keagamaan sejatinya harus menjadi sarana untuk introspeksi diri dalam melahirkan tindakan-tindakan nyata yang berangkat dari iman terkait makna yang ada dalam hari raya itu. Ada apa di hari Natal? Melalui Injil-Injil khususnya Injil Lukas dan Matius kita menjumpai Allah yang nimbrung. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan nimbrung seperti ini: nimbrung/nim·brung/ v cak 1 datang dan turut serta (makan, minum, bercakap-cakap, dan sebagainya); 2 mencampuri urusan orang lain. ![]() Keilahian yang memulihkan Dalam Yesus Kristus kita menjumpai keilahian dan keinsanian. Kesucian sekaligus kemanusiaan yang tak terpisahkan. Kehadiran para malaikat dalam mimpi Yusuf dan Maria, kesesuaian dengan nubuat para nabi, kelahiran dari seorang anak dara, adalah tanda-tanda yang jelas menunjukkan keilahian Yesus. Namun secara bersamaan juga kita menemukan bahwa keilahian itu bukanlah keilahian yang dihadirkan jauh dari kenyataan manusia pada umumnya. Apa buktinya? ![]() Allah nimbrung melalui kehadiran Yesus Kristus. Natal Kristus dengan demikian menjadi jalan yang sungguh sangat melegakan dan membahagiakan bagi dunia ini, karena berita besarnya kini bukan lagi manusia mencari-cari Allah yang jauh dan hampir tidak bisa didekati dengan rupa-rupa syarat keagamaan, tetapi Allah yang justru mencampuri keadaan manusia yang sangat butuh pertolongan segera, yang sangat butuh kasih yang nyata, hidup yang baru, perjanjian yang baru. Seolah-olah melalui Natal Kristus, Allah mau mengatakan kepada semua manusia: “Aku tahu apa yang kamu alami. Aku mengerti kesusahan kamu. Aku turut merasakan apa yang kamu rasakan. Lihat, Aku ada bersama-sama kamu. Aku mengasihi kamu!” Jika demikian, saat merayakan Natal, seharusnya tidak lagi kita membeberkan rupa-rupa alasan bahwa kita ini tidak berharga, tidak cukup suci, tidak mengerti kitab suci, penuh dengan dosa dan alasan-alasan lain yang berangkat dari pementingan diri, yang hanya akan menjauhkan diri dari kabar baik untuk hidup enak-enakan di dalam dosa. Sebab pada Natal Kristus, Allah sudah nimbrung dalam kehidupan manusia dan turut serta merasakan keterbatasan, kesusahan, ketersisihan, kemiskinan, kegelisahan manusia. ![]() Menjadi sederhana Lalu jika Allah nimbrung, apa tanggapan kita di Natal 2015 ini? Sekarang ini kita tidak lagi menjumpai kaisar, gembala, malaikat. Tetapi bukankah sosok kaisar tetap dapat kita temukan dalam diri orang-orang yang menganggap diri serba kuat dan bahkan hampir sama seperti Tuhan? Orang-orang yang menindas dan mengeksploitasi yang lain karena haus harta dan kuasa? Bukankah kita pun acap kali masih menjumpai sosok buruk keagamaan saat agama justru menjadi alat untuk menambah beban ketika diikuti dengan kebencian, permusuhan, kekerasan, manipulasi dan keangkuhan? Dan tentu juga ada sosok para gembala. Orang-orang yang sederhana, yang merindukan pertolongan Allah, yang cukup rendah hati untuk mendengar berita Natal, bergegas menjumpai Kristus dan mengalami pembaruan hidup karena kehadiran Kristus. Orang-orang yang sederhana seperti para gembala memang akan lebih mudah membiarkan Allah nimbrung. Sebab pada zaman sekarang ini dengan kemudahan sarana informasi, komunikasi, transportasi, seseorang dapat menjadi begitu rumit dengan banyaknya pernak-pernik pemikiran yang berujung pada kekhawatiran, pesimisme, kebimbangan, sehingga kehilangan tenaga dan cinta untuk menjadi orang-orang yang sederhana, yang mengasihi melalui hal-hal yang sederhana, yang membiarkan Allah nimbrung di dalam hidupnya. Selamat Natal. Pdt. Essy Eisen |
Kegiatan > Artikel Bina Iman >